30 July 2011

Pengantar Koran dan Baju Koko

Jam menunjukkan pukul tiga sore, anak itu menggayuh sepeda nya dengan cepat menuju sebuah agen koran di kotanya. Sepulang mengaji sepedanya selalu digayuhnya menuju ke agen koran itu. Warna merah matahari yang hampir tenggelam atau tangisan dari langit tak pernah dihiraukannya. Baginya mengantar koran adalah sebuah pekerjaan yang harus dikerjakannya dengan bangga, sebab buku, pensil, sepatu serta seragam sekolah semua dibeli dari hasil kerjanya sebagai tukang pengantar koran. Tukang koran, begitulah orang-orang memanggilnya. Tak banyak yang tau nama asli sang anak. Tukang koran, yah .. tukang koran. Sebutan itu sudah melekat dalam dirinya sejak dia duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar.

Sebelum berangkat biasanya anak itu mencium tangan ibunya. Sebuah ritual yang tak pernah dilupakannya. "hati-hati dijalan" suara manis penuh doa dan harapan pun selalu menyertai langkah sang anak. Hari itu, sang anak sedih, sebab puasa sebentar lagi tiba. Tak ada baju gamis atau baju koko buat shalat terawih. "Kapan aku bisa punya baju koko, seperti layaknya anak-anak lain" gumam sang anak sambil menggayuh sepedanya. Air matanya menetes bercampur peluh di kedua pipinya. Beberapa hari yang lalu, sang anak sempat merengek agar ibu membelikannya baju koko. Dia juga ingin bergaya dengan bangga memamerkan baju koko nya pada saat shalat terawih tiba, tetapi sang ibu memintanya untuk bersabar. Sabar, sebuah kata manis pengganti tak punya uang.

Adzhan magrib berkumandang, warna merah dilangit perlahan-lahan menghilang, sang anak tiba dirumah dengan lesu. Ibu yang usianya sudah setengah baya telah menyiapkan makanan alakadarnya. "Korannya gimana Nak, apa ada masalah, kelihatannya lesu banget ?" tanya sang ibu. "Tidak apa-apa Bu." jawab sang anak menyembunyikan rasa sedih di dadanya.

Bulan ini bisa dipastikan sang anak tak punya baju koko. Sedih !!

*sebuah cerita masa lalu dari seorang anak di Palopo Sulawesi Selatan*

....bersambung....

1 komentar:

bocah ingusan said...

mengenang masa lalu ya sob ? saya juga pernah merasakan pahit getirnya sebagai pengantar atau loper koran..
mudah2an pengalaman ini dapat kita jadikan sebagai ajang kepelatihan kerasnya kehidupan..